Sebagian besar penduduk Benai khususnya dan Kabupaten Kuantan Singingi umumnya bermata pencaharian sebagai petani dan penyadap karet, hampir 80 % penduduk merupakan petani atau pekebun karet. Memang daerah sepanjang aliran sungai Kuantan beberapa waktu yang lalu ketika Kabupaten Kuantan Singingi masih bergabung dengan Kabupaten Inderagiri Hulu merupakan daerah penghasil karet terbesar di Riau sama seperti Kampar dan Bengkalis.
Semenjak dibukanya investasi di bidang perkebunan sawit di Riau peran perkebunan karet sedikit banyaknya berkurang, namun masih banyak masyarakat yang menggantungkan penghasilanya dari menyadap karet (manakiak gotah). Pada saat harga karet melambung tinggi sampai diatas Rp. 12.000,- per/kg masyarakat tidak kesulitan menyekolahkan anaknya dan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Pasar dan kedai ramai dikunjungi oleh orang yang ingin berbelaja kebutuhan sehari-hari. Tetapi sejak beberapa bulan yang lalu harga karet terus turun sampai Rp. 2.500,- per/kg rakyat seakan menjerit karena tidak mampu lagi memenuhi kebutuhannya, jangan untuk menyekolahkan anaknya, untuk makan saja bukan main susahnya demikian kata seorang Bapak setengah baya yang pekerjaan sehari-harinya sebagai petani penyadap karet.
Mendengar perkataan Bapak itu – saya teringat sebait lagu randai yang sering dilantunkan oleh masyarakat Kuantan Singingi sebagai berikut -- Deen ndak nondak gulai kikiak gulai kikiak banyak tulang, Deen ndak nondak anak panakiak, anak panakiak banyak utang.. (saya tak mau gulai kikiak, gulai kikiak banyak tulang. Saya tak mau anak panakiak, anak panakiak banyak utang)./(yuf)
Kamus:
Randai = suatu kesenian khas masyarakat Kuantan Singingi yang merupakan gabungan seni suara dan drama (melodrama).
Kikiak = sejenis burung Enggang, Rangkong
Panakiak = penyadap karet
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Komentar berupa spam akan dihapus.